Vol.9 | Perubahan Perlakuan PPN atas Barang Kebutuhan Pokok dalam UU HPP, Bagaimana Implikasi Perpajakannya?
Audina Pramesti
30 Oktober 2022
0
Selama pandemi Covid-19, APBN telah bekerja sangat keras untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Besarnya belanja negara yang disertai dengan melemahnya penerimaan negara akibat pandemi Covid-19 menyebabkan APBN mengalami defisit di atas 6% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp947,6 triliun, dimana merupakan pengalaman pertama Indonesia memiliki defisit di atas 3% (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2021). Dengan kondisi demikian, Indonesia memerlukan banyak sumber daya untuk melakukan pemulihan ekonomi serta memperbaiki pertumbuhan ekonomi nasional. Pajak sebagai penghasil penerimaan negara terbesar dapat digunakan sebagai instrumen untuk menjaga kesehatan APBN dalam mendukung penerimaan negara yang kuat dan berkesinambungan.
Diantara upaya pemerintah untuk mendukung penerimaan negara yang kuat dan berkesinambungan melalui pajak adalah dengan melakukan reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang salah satunya berupa perluasan basis pajak. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai menjadi salah satu jenis pajak yang mengalami perluasan basis pajak dalam UU HPP. Perluasan basis pajak dalam PPN tidak terlepas dari angka rasio c-efficiency PPN Indonesia yang hanya sebesar 0,6 atau 60% dari total PPN yang seharusnya dapat dipungut. Hal tersebut menunjukkan PPN masih belum optimal sebagai sumber penerimaan negara. Apabila dibandingkan, c-efficiency ratio PPN Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lainnya, seperti Thailand, Singapura, dan Vietnam yang memiliki c-efficiency PPN sebesar 80% (Santoso, 2021).
Adanya perluasan basis pajak dalam PPN terlihat dari diubahnya pasal 4A UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Melalui UU HPP, kelompok barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN mengalami pengurangan, sehingga hanya terdapat 2 kelompok jenis barang dan 6 kelompok jenis jasa dari yang sebelumnya terdapat 4 kelompok jenis barang dan 17 kelompok jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Barang kebutuhan pokok merupakan salah satu jenis kelompok barang yang statusnya berubah menjadi Barang Kena Pajak (BKP) setelah diubahnya UU PPN dalam UU HPP. Hal tersebut ditandai dengan dihapusnya pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN s.t.d.t.d UU HPP.
Walaupun telah menjadi barang kena pajak, tidak seluruh penyerahan barang kebutuhan pokok dapat terutang PPN. Dalam hal ini, pemerintah telah menyediakan ruang untuk pemberian fasilitas PPN bagi barang atau jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional, salah satunya yaitu barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Pemberian fasilitas PPN tersebut diakomodasi melalui pasal 16B ayat (1a) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP.
Berdasarkan pasal 16B ayat (1a) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dapat diberikan fasilitas berupa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan. Lebih lanjut, dalam siaran pers yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dengan nomor SP-39/KLI/2022, dijelaskan bahwa bentuk fasilitas PPN yang diberikan kepada barang kebutuhan pokok adalah fasilitas PPN dibebaskan. Dengan diberikannya fasilitas PPN dibebaskan, masyarakat sebagai konsumen tidak akan menanggung beban PPN yang dialihkan kepadanya (forward shifting). Dengan demikian, walaupun telah menjadi barang kena pajak, adanya fasilitas PPN dibebaskan ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi agar biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pembelian barang kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan akibat beban PPN. Harga yang terjangkau merupakan kunci penting agar barang kebutuhan pokok dapat dikonsumsi oleh setiap masyarakat, mengingat pentingnya barang kebutuhan pokok dalam pembangunan nasional. Pemenuhan kebutuhan pokok berpengaruh terhadap kualitas pembangunan sumber daya manusia yang berdaya saing global, tingkat kecerdasan, kesehatan, serta penurunan angka kematian. Dengan terlindunginya konsumsi barang kebutuhan pokok seluruh masyarakat Indonesia, hal tersebut telah sesuai dengan salah satu tujuan nasional Bangsa Indonesia yang tertuang dalam alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Walaupun masyarakat sebagai konsumen tidak menanggung beban PPN karena adanya fasilitas PPN dibebaskan, namun sebenarnya pemberian fasilitas PPN dibebaskan tidak serta merta membebaskan konsumen dari kewajiban menanggung beban pajak atas barang/jasa sebagai konsekuensi PPN yang memiliki legal character pajak tidak langsung. Hal ini dikarenakan pajak masukan atas barang/jasa yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan tidak dapat dikreditkan. Para pengusaha dapat terdorong untuk membebankan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kepada harga jual barang kebutuhan pokok, sehingga harga barang kebutuhan pokok mengalami peningkatan. Dengan demikian, konsumen bisa saja menanggung beban pajak yang seharusnya ditanggung penjual. Adanya kecenderungan pengusaha untuk dapat membebankan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkannya membuat fasilitas PPN dibebaskan menyebabkan PPN menjadi kurang netral dalam rantai penyerahan barang/jasa.
Beralihnya barang kebutuhan pokok menjadi BKP juga memberikan implikasi administrasi perpajakan yang berbeda terhadap penjual/pengusaha yang melakukan penyerahan barang kebutuhan pokok tersebut. Dalam hal ini, apabila pengusaha yang menyerahkan barang kebutuhan pokok tersebut telah melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak melebihi ambang batas tertentu, maka pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya dan dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ambang batas tersebut diatur lebih lanjut dalam PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, yaitu sebesar Rp4.800.000.000,00. Apabila penjual/pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP tersebut melakukan penyerahan barang kebutuhan pokok, maka wajib membuat faktur pajak dengan kode transaksi 08 karena mendapat fasilitas PPN dibebaskan. Dengan demikian, pengusaha tersebut juga harus melakukan pengadministrasian PPN.
Kebijakan perluasan basis pajak melalui dihapusnya barang kebutuhan pokok dari pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN s.t.d.t.d UU HPP dapat memberikan insentif ataupun disinsentif kepada masyarakat sebagai pelaku ekonomi. Disinsentif terlihat dari meningkatnya beban administrasi kewajiban perpajakan penjual/pengusaha yang melakukan penyerahan barang kebutuhan pokok apabila penjual/pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan menjadi PKP. Namun, dihapusnya barang kebutuhan pokok dari kelompok barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN juga dapat memberikan insentif bagi masyarakat berupa redistribusi pendapatan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Dijadikannya barang kebutuhan pokok menjadi BKP memberikan peluang adanya barang kebutuhan pokok yang dapat dikenakan pajak, misalnya barang kebutuhan pokok yang bersifat premium (Hidayat, 2022). Atas penerimaan PPN tersebut dapat digunakan untuk melakukan redistribusi pendapatan, misalnya melalui pemberian program yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan redistribusi penerimaan PPN tersebut, PPN dapat mencerminkan keadilan (fairness) dalam pemungutannya.
Referensi
Hidayat, Khomarul. (2022). Barang kebutuhan pokok bisa kena PPN 11%, tapi yang kualitas premium. Retrieved June 13, 2022, from https://nasional.kontan.co.id/news/barang-kebutuhan-pokok-bisa-kena-ppn-11-tapi-yang-kualitas-premium.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Pandemi Covid-19 mempengaruhi kinerja APBN 2020. Retrieved June 12, 2022, from https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pandemi-covid-19-mempengaruhi-kinerja-apbn-2020/.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Penyesuaian tarif PPN 11% mulai 1 April 2022. Retrieved June 12, 2022, from https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-penyesuaian-tarif-ppn-11-mulai-1-april-2022/.
Santoso, Y. I. (2021). Ini empat faktor yang menjadi latar belakang munculnya rencana perluasan objek PPN. Retrieved June 13, 2022, from https://newssetup.kontan.co.id/news/ini-empat-faktor-yang-menjadi-latar-belakang-munculnya-rencana-perluasan-objek-ppn?page=all